Kamis, 16 Oktober 2014

Nenek di sebuah gubuk

"Dasar Kerbau! ayo cepat diangkut barang itu sebelum mereka berhasil menangkap kita!" Maki bapak-bapak yang terus mengomandoi kumpulan orang-orang yang sedang mengangkut beberapa barang curiannya sambil menendang-nendang pundak salah seorang anak buahnya. Masa itu semakin mendekat. Dengan beberapa obor yang beberapa dari mereka pegang, mereka menjadi begitu bercahaya dan lebih menyeramkan. Mungkin karena beberapa senjata tajam yang terlihat berkarat. Seorang komando yang daritadi terus berteriak itu kelihatan semakin panik dan akhirnya dirinya pun juga membantu anak-anak buahnya.
"Akhirnya terangkut semua. ayo kita segera pergi!" Perintah bapak-bapak itu dan mereka pun akhirnya dengan sekuat tenaga mendorong gerobak itu. selagi beberapa langkah kemudian mereka berhasil menghilang dari pandangan orang-orang yang mengejar mereka.
"Sial! aku tidak kuat lagi!" ucap salah seorang anak buah yang badannya lebih kecil dibanding yang lainnya.
"Dasar pemalas! untuk yang beratnya segini ringan saja kamu tak sanggup? percuma aku membayar mahal untukmu!" Maki bapak-bapak itu lagi.
"Hah! dasar orang tua! kamu hanya mau membayar 10% dari semua barang-barang jarahan ini kepada kami saja gayamu sok berkuasa! asal bapak tahu saja. Kami bisa mencari seorang bos yang mau berbagi lebih kepada kami. Mulai saat ini kami tak mau bekerja sama dengan bapak lagi!" ucap anak buah yang lainnya. Lalu mereka mengambil barang-barang hasil curian itu sesuka hati mereka dan menginggalkan bapak-bapak tua itu sendirian dengan beberapa bagian yang masih tersisa dengan gerobaknya. Bapak-bapak itu masih bersikeras dapat mengangkut barang-barang itu sendirian. Namun ternyata benar apa kata mereka; gerobak bawaan ini terlalu berat karena isinya. karena keserakahannya sendiri. "Sial! aku tidak mau sendirian menjadi korban amukan mereka. Aku harus mencari cara!" untung bagi bapak itu ketika ia melihatku yang sedang berjalan sendirian di jalan itu karena sepulang bekerja dari toserba yang letaknya tak jauh dari sana.
"Hei kamu yang disana!" seru bapak itu kepadaku "Ya! aku mau berbagi sesuatu kepadamu. Kujamin kamu tak akan meyesal" lalu, aku yang saat itu belum mengerti apa yang terjadi segera menurut dan datang kepadanya. Aku sama sekali tidak curiga dengan apa yang ada di dalam gerobak yang berada di dekatnya itu. Lagipula tawarannya cukup menarik.
"Memangnya apa yang ingin bapak bagikan kepadaku?" setibaku disana
"Kamu lihat apa yang ada di dalam geobak itu? kulihat hidupmu cukup sulit, jadi aku ingin berbagi apa yang ada di dalam gerobak ini, tentu setelah aku mengambil beberapa bagianku. Sisanya terserah padamu"
" Tapi, pak? aku tidak mengerti. apakah ini barang curian?" tanyaku curiga setelah kulihat berbagai macam barang mewah yang tergeletak begitu saja di dalam gerobak itu. Bapak-bapak itu segera mengambil beberapa barang dari gerobak itu.
"Tenang saja, ini bukan barang curian" lalu bapak-bapak itu pun berlari dan pergi menjauhiku dan sosoknya yang semakin lama semakin mengecil akhirnya hilang ditelan gelapnya malam. Aku yang masih kebingunan dan sama sekali tak tahu apa yang saat itu tengah terjadi akhirnya hanya dapat melihat isi di dalam gerobak itu.
Selang beberapa saat kemudian terdapat sebuah sinar api yang semakin lama semakin besar menghampiriku. Ketika cahaya itu mendekat dan menyinari siapakah pemilik api itu, ternyata mereka adalah segerombol orang yang penuh emosi dan memburu  berlari mendatangiku. wajah mereka begitu bringas dengan berbagai senjata tajam dan obor yang menemani mereka.
"Itu dia malingnya!" seru salah seorang yang berdiri paling depan sambil memegangi obor. mungkin dialah pemimpin gerombolan itu.
"Dasar tidak tahu diuntung! sudah bagus diberi pekerjan oleh Pak Haji pemilik toserba itu, tak tahunya ia masih mau memalingi tetangganya!?" Seru yang lainnya. Baru kusadari bahwa benar perasaanku bahwa bapak-bapak itu tadi adalah seorang pencuri. Wajahku semakin lama semakin pucat dengan seiring mendekatnya mereka kepadaku.
"Iya benar! dia pencurinya. lihat barang-barang yang berada di gerobak ini. ini semua barang-barang curiannya!" seru salah seorang yang lainnya setelah ia melihat isi gerobak yang berada disebelahku. Beberapa dari mereka kemudian melihat gerobak itu untuk membuktikannya. Dan dengan raut wajah mereka membuktikan bahwa benar bahwa barang-barang itu adalah hasil curian.
"Tunggu dulu. aku benar-benar tidak tahu apa-apa!" ucapku membela diri. namun mereka semua tidak mau tahu dan akhirnya mengeroyokiku dengan membabi buta "Ayo kita bawa dia ke kantor polisi! biar dia tahu apa akibatnya kalau mencoba mencuri di desa kami" ahirnya mereka pun berbondong-bondong mengiringiku yang sudah babak belur ini ke kantor polisi. Sumpah serapah tak berhenti mereka ucapkan selagi di dalam perjalanan.
"Pak! dia telah mencuri barang-barang berharga di kampung kami! mohon dihukum seberat-beratnya dan setimpal-timpalnya" ucap salah seorang gerombolan itu sesampainya kami di kantor polisi terdekat. Lalu mereka pun pergi meninggalkanku yang diintrogasi oleh polisi dengan cara yang sangat kasar.

***

Beberapa bulan setelah kejadian penangkapan itu. Polisi sudah membuktikan bahwa memang sesungguhnya aku tidak bersalah. dan betapa mengejutkan bahwa bapak-bapak di malam itu menyerehkan gerobak itu sehingga mengantarkanku ke tahanan ini adalah seorang saudagar kaya di kampung kami yang kata orang adalah seorang pengusaha sukses. Beberapa anak buah yang membantunya di malam itu pun juga sudah tertangkap semua dan aku dibebaskan dari tuduhan ini dan dibiarkan bebas meninggalkan penjara.
Walaupun memang aku tidak berasalah, namun bukan berarati aku terbebas dari tatapan sinis mereka, orang-orang kampung itu. Namun aku tidak peduli. aku tetap berjalan menuju rumahku yang berada di sudut kampung itu.
Rumah reyot yang sepertinya sudah lama tidak diurus. Bukan salah mereka yang tidak tahu apa-apa yang telah terjadi. bukan salah nenekku pula yang sudah sangat renta bahkan untuk membantuku membereskan rumah saja dia takkan sanggup. Pintu rumah itu berdenyit ketika kubuka. Dan ketika kumasuki rumah itu sebuah suara seorang nenek-nenek memanggilku.
"Cah bagus, kamu sudah pulang?"
"Ya, nek. aku sudah pulang. nenek ada dimana? aku membawa sedikit makanan untuk kita"
"Nenek ada di kamar. Segeralah kemari. Nenek rindu sama kamu"
"Ya, nek. Aku segera kesana" setibanya disana, kulihat dia sedang terbaring lemah di atas sebuah tempat tidur berbahan kapuk. Tubuhnya semakin mengurus sehingga denyut jantungnya pun terlihat jelas olehku. wajahnya pucat dan kerputnya semakin menjadi.
"Nenek sakit? nenek sudah minum obat?" tanyaku setelah aku menghampiri tempat tidur nenek. Nenek hanya menggeleng lemah "Kenapa nenek belum minum obat? nenek kan lagi sakit" tanyaku prihatin.
"Cah bagus, nenek hanya keletihan, mungkin setelah nenek tertidur nenek akan sembuh. cah bagus tak usah kuatir"
"Tapi benar, ya. Nenek harus sembuh. Semenjak ayah ibuku meninggal dan kakak-kakak sudah pergi meninggalkan kampung ini dan merantau ke jakarta, hanya nenek yang kupunya"
"Iya, cah bagus. nenek pasti sembuh"
"Nah, sekarang nek, nenek harus makan yang banyak biar cepat sembuh" setelah itu aku bergegas ke dapur untuk mengambil peralatan makan dan segelas air. Setelah menghidangkan makanan, aku menyuapinya makan dan dia segera tidur.
***
Nenek bohong padaku! katanya dia akan cepat sembuh、 tapi mengapa penyakitnya menjadi semakin parah? bahkan untuk berdiri dan pergi ke ruang makan hanya untuk sekedar makan saja tak sanggup. Aku tidak boleh begini terus. Aku harus segera mencari pekerjaan untuk biaya berobat nenekku. tak bisa ditunda lagi.
Tanpa membuang waktu lagi aku segera meninggalkan nenek di rumah ini sendirian. Aku kembali melamar kerja di toserba milik pak haji itu namun beliau tak mau menerimaku karna predikatku sebagai bekas tahanan. Namun tak mungkin beliau langsung menolak permohonanku begitu saja. Pasti warga itu yang telah menghasutnya. Mereka memang keji! padahal mereka tidak tahu apa yang telah mereka perbuat.
Aku tak boleh menyerah dengan keadaan. Pasti masih banyak lapangan pekerjaan yang lainnya yang masih membutuhkan tenagaku. Walaupun kutahu dari begitu banyaknya lapangan kerja itu, pasti sedikit yang mau menerimaku. aku tak boleh menyerah! aku pasti bisa.
sayangnya memang tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan. Jangankan pekerjaan. Bahkan warga di kampungku ini tak ada yang mau meminjamkan uangnya kepadaku. Padahal kalau mereka memang tahu mengapa aku melakukan semua ini, mungkin hati mereka akan sedikit tergerak untuk membantuku. Keadaan nenek semakin parah. Dan aku semakin keras untuk mencari sebuah pekerjaan yang halal. Nenek pernah berpesan kepadaku; walaupun dunia ini memang kejam kepada kita, sebisa mungkin jangan melakukan kejahatan kepada sesama kita. karna kita tidak tahu apa masalah mereka.
akhirnya selama seminggu ini berjuang keras, akhirnya kudapatkan pekerjaan itu. Aku langsung bekerja di saat itu juga dan meminta sedikit gaji dari mandor pertambangan itu untuk makan dan berobat nenek. Aku beruntung mempunyai mandor yang baik hati seperti itu dan segera setelah membeli makanan yang layak makan dan membeli sedikit obat untuk nenek aku pulang kerumah.
***
sesampainya di rumah yang reot itu, entah mengapa tak kudengar suara nenek yang biasanya langsung tahu kalau aku telah sampai di rumah melalui derat pintu ini. Dan biasanya beliau langsung menyambutku dengan panggilan cah bagus. Namun mengapa suara itu tak ada? apakah warga sekitar yang memang sudah mengetahui keadaan nenek langsung membawa nenek untuk berobat ke puskesmas?
aku langsung mencari setiap sudut rumah kalau-kalau ternayata nenek masih ada di rumah ini. Dan ternyata dugaanku benar. Nenek masih tertidur di kamarnya dengan nyenyak. Nafasnya tidak ada dan jantungnya tidak berdetak. Namun aku masih berpikir positif kalau mungkin nenek memang sedang tertidur pulas. Langsung kusiapkan makan untuknya lalu membangunkan beliau untuk makan sebentar lalu minum obat setelah itu tidur kembali. 
setelah selesai menyiapkan makan. Aku langsung menggoyang-goyangkan tubuh nenek.
"Nek, ayo bangun. makan dulu”panggilku ambil menggoyang-goyangkan tubuh nenek yang sangat lemas dan ringan namun entah mengapa nenek sama sekali tidak bergeming. "Nek! ayo bangun, Nek. Nenek jangan bercanda!" aku semakin keras menggoyang-goyangkan tubuhnya. firasatku semakin memburuk karena nenek sama sekali tidak bergeming. Sekeras apapun usahaku untuk membangunkan nenek tetap saja tak ada hasil. Aku putus asa. mungkin nenek sudah tak ada. 
***
Hari ini, setelah seminggu aku bersikeras untuk tidak menguburkan jasad nenek, aku masih ingin tetap bersamanya. Hari ini sudah kuputuskan untuk menguburkan jasadnya supaya arwahnya bisa tenang.
Hari ini, sore ini di belakang pekarangan ruamhku, aku menguburkannya secara layak. hanya diriku dan beberapa tumbuhan liar serta matahari temaram, yang menyaksikan acara pelepasan ini. Sekarang aku tak punya apa-apa. mungkin sudah saatnya aku berjalan tanpa tujuan dan hanya menanti ajal

Kamis, 03 Juli 2014

Kancing seragam

     Suasana lorong itu masih sepi setelah beberapa menit ditinggal pergi oleh para siswanya. Cahaya matahari sore yang tersinar itu terpampang jelas di balik sebuah jendela besar dan akhirnya sinarnya menyinari kumpulan loker itu. suasana lorong itu sepi sampai-sampai yang terdengar hanya suara kumpulan burung yang kebetulan terbang melintasi bagian luar lorong itu.
     Perlahan-lahan sorang siswa datang menghampiri kumpulan loker itu. Matanya terus mengendap-endap kalau-kalau ia terpergok oleh seseorang yang tidak sengaja melihatnya. Ketika ia sampai di sebuah loker yang ditujunya, matanya masih terus mengendap-endap. Masih sama, tak ada seorangpun yang ada kecuali dirinya dan tak ada suara manusia sedikitpun kecuali suara dirinya. Dengan cepat ia mengeluarkan sebuah kunci kecil untuk membuka loker itu setelah itu ia memasukkan sebuah kotak kecil yang sedari tadi ia simpan di sakunya.
     "Tenang saja, kamu tidak akan menyadari bahwa kuncimu sempat kupinjam" gumamnya. Setelah ia menyelesaikan pekerjaannya dan mengantungi kunci kecil itu. Segera ia meninggalkan tempat itu dengan senyum yang sangat lebar.

 ***
     "Hei, kamu tahu Nino? si siwa populer itu. Aku mau kamu mencari tahu siapa saja siswi-siswi beruntung itu yang mendapatkan kancing seragamnya" perintah Nina kepada Nani.
     "Tapi buat apa? Memangnya kamu juga sama seperti mereka yang mengharapkan kancing itu? Itu, kan hanya benda mati..." ucap Nani
     "Itu lebih dari sekedar benda mati! haduh! kamu ini bagaimana, sih? Memangnya kamu gak tau apa mitos tentang si kancing itu? Makanya jangan kebanyakan baca buku-buku fiksi yang gak mutu gitu. Lihat, kan jadinya gimana? Sekarang cepat ikuti dia!"
     "Tapi nanti kalau ketahuan, gimana?"
     "Aku gak mau tahu! pokoknya ikutin dia dan kalau sampai kepergok jangan bawa-bawa nama aku"
     "Tapi kan..."
    "Cepat sebelum kotak pensil ini melayang!" lalu Nani pun segera menuruti perintah Nina.

***
Keadaan luar kelas begitu ramai. Mereka semua begitu antusias merayakan hari terakhirnya di dalam sekolah ini. Sebagian besar siswi berusaha mendapatkan kancing seragam dari siswa-siswa yang telah lama ditaksirnya. Nani yang  seumur hidupnya belum pernah merasakan jatuh cinta sampai kini masih belum mengerti untuk apa mereka semua melakukan hal seperti itu. Lagipula, kalaupun ia sedang merasakan jatuh cinta, memangnya ada yang peduli?
     Nani berjalan-jalan menyisiri setiap sudut sekolah. Kepalanya tidak mau berhenti melihat-lihat sekelilingnya untuk mencari sosok yang ditugaskan Nina. Sampai pada akhirnya ia melihat kerumunan siswi yang sangat banyak. Nani yang penasaran dengan apa yang menjadi objek kerumunan itu segera berbaur dengan mereka. Dan akhirnya ia menemukan objek pengawasannya.
     Sosok pria itu tinggi dan berisi dan juga berbentuk. Rambut pendeknya yang hitam berkilau, wajahnya yang sangat maskulin dengan rahangnya yang tegas dan warna kulitnya yang sawo matang itu membuat hampir semua siswi di sekolah ini tergila-gila padanya.
     "Berikan aku kancing seragammu, Nino" pinta seorang siswi yang berdiri di samping Nani dan disambut dengan suara siswi yang lainnya yang ada di dalam kerumunan itu. Nani tetap fokus untuk tidak kehilangan pandangannya terhadap Nino di dalam keadaan sesak seperti itu, dan ia melihat pria itu memutuskan salah satu kancing seragamnya dan memberikannya kepada salah seorang siswi yang berada tepat didepannya. Keadaan kerumunan itu makin menyesakkan karena mereka semakin agresif.
     "Fuah! akhirnya aku keluar juga dari kerumunan itu! dasar para gadis.... mengerikan sekali!" omel Nani sambil mengumpulkan nafasnya sebentar. Ketika ia sadar, ia kehilangan Nino dari pandangannya "Aduh! kemana dia?" dengan langkah cepat ia mencari sosok itu dan beberapa langkah kemudian ia menemukannya. Sambil terus mengawasi Nino, Nani mulai berfikir kali ini ia sedang memberikan kancing ketiga miliknya kepada gadis beruntung yang lainnya. Dua kancing yang diberikannya sejauh ini hanya kepada gadis-gadis idola. Mungkinkah ia juga sama seperti para siswa lainnya? Kira-kira Nina juga termasuk siswi popluler, tidak, ya? dan juga, kemanakah hilangnya kancing keduanya?
     Ternyata dugaan Nani mengenai gadis yang beruntung itu salah. Tidak semua gadis idola yang mendapatkan kancing itu. Buktinya siswi-siswi yang kurang populer juga beruntung mendapatkan kancing itu. Tapi dari keempat kancing itu tidak ada yang diberikan kepada Nina. Kepalanya tertunduk dan langkahnya pelan menuju tempat pertemuannya dengan Nina. Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya.
      "Nino!" kejut Nani. Nino segera berdiri di depan Nani.
     "Kaget, ya? hahaha. Memangnya tidak capek, apa ngikutin aku terus? seperti tidak ada kerjaan lain saja"
     "Aku disuruh Nina. Oh iya, kamu kenapa tidak memberikan kancing seragammu kepadanya? Dan juga, kancing seragammu yang kedua itu kamu berikan ke siapa?"
     "Memanganya untuk apa aku memberikan kancingku kepadanya? Aku tidak suka padanya.  Dan kancing kedua itu, nanti kamu juga akan tahu siapa siswi itu. Bukan siswi itu yang beruntung mendapatkan kancing kedua milikku. Tapi, aku yang beruntung" lalu Nino pergi meninggalkan Nani yang keadaannya masih bingung. Nani yang tersadar dari lamunannya segera melanjutkan perjalanannya ke tempat pertemuan.

***
     "Kancingnya sudah habis" lapor Nani sesampainya di tempat pertemuan
     "Dan aku tidak mendapatkan kancing itu? Menyebalkan!" dan Nina pun terus menggerutu. Setelah berjalan mondar-mandir beberapa putaran, ia melihat Nani yang terus duduk memperhatikannya "kamu mendapatkan kancingnya?"
     "Tidak" jawab Nani polos
     "Siapa saja siswi yang beruntung itu" tanya Nina
     "Rani, Rina, Ina dan Ani" jawab Nani.
     "Huh! ya sudah. Sekarang pergi tinggalkan aku sendiri!" usir Nina dan Nani pergi meninggalkan tempat itu.

***
     Sekolah sudah jadi sepi. Semua siswa dan siswi sudah pulang ke rumahnya masing-masing. Nani mengeluarkan sebuah kunci dari dalam tasnya dan membuka lokernya dengan kunci itu untuk mengosongkan tempat itu karena mulai besok sudah bukan lagi miliknya. Ketika pintunya terbuka, ia melihat sebuah kotak kecil misterius. Kotak dari kertas itu berwarna hijau muda, warna favoritnya dan dihiasi oleh pita berwarna merah muda. Dengan takut-takut penasaran  ia membuka kotak itu dan isinya adalah sebuah kancing seragam siswa dan sebuah surat kecil yang wangi. Bau itu adalah bau bunga favoritnya. Ketika ia  membaca surat itu, terkejutlah ia.

Aku sudah tahu kalau kamu pasti akan mengikutiku karena Nina
Dan kamu pasti penasaran kemanakah kancing kedua milikku telah kuberikan
kancing yang berada di genggamanmu itu adalah kancing kedua milikku.
Dijaga, ya...
(Dari Nino)

ps: aku cinta kamu