Jumat, 14 September 2012

     Pada jaman dahulu, pada zaman kerajaan, yang namanya pendidikan itu bukanlah sesuatu yang mahal. Pendidikan itu gratis adanya. Para pemerintah itu sangat baik. Mereka tidak peduli akan betapa mahalnya biaya yang harus mereka keluarkan. Mereka hanya memikirkan bagaimana supaya rakyatmya bisa maju dan damai sentosa.
     Namun apa yang ada pada jaman dahulu dengan apa yang ada dijaman sekarang ini bedalah adanya. Pendidikan semakin mahal dan orang kaya-lah yang berkuasa. Namun apalah peduli masyarakat? tidak, mereka tidak ada pedulinya. Hanya orang-orang yang mempunya sifat dermawan-lah yang bisa mengabulkan permintaan si masyarakat kurang mampu.
     Dia, gadis itu, kulihat ia memang rajin. Sangat rajin. Aku tahu ia luar dalam. Bahkan lebih daripada apa yang ada diotak mereka yang hidup disekitarnya. Namun, apa yang mereka lihat bedalah dengan apa yang aku lihat. Mereka hanya melihat hasilnya yang sangat kurang memuaskan. Bahkan tidak memuaskan sama sekali. Yah, sesungguhnya keberuntungan ia dalam hal pendidikan itu sangatlah buruk. Toh, semua orang mempunyai keberuntungan yang buruk, kan? bukan hanya dalam pendidikan?
     Namun apapun yang ada dipikiran kehidupan sosial, orang pintar-lah yang berkuasa. Mereka tidak peduli betapa baiknya orang itu (hei, gadis ini sangat baik lho). Hanya orang-orang berhati sangat lembutlah yang dapat merasakan (berarti aku orang yang lembut). Pendidikannya sangat pas-pasan namun ia mempunyai sesuatu kepandaian yang lain yang tidak mungkin ada didalam akademi. Namun apa yang dilihat pada akademi itulah yang dilihat oleh dunia.
     Akademi hanya akan melihat dari hasil akhir. Tak usah jauh-jauh. Akademi adalah kacamata dunia dalam melihat prestasi setiap individu. Padahal, sesungguhnya akademi  belum trentu otaknya lebih encer daripada otak si individu. Namun bagaimana lagi? toh mereka hanyalah MELAKUKAN TUGAS-nya.
     Kulihat gadis itu masuk kedalam suatu ruangan kelas. Gadis itu dengan gontainya masuk kedalam. Seakan-akan ia berfikir kembali ia tidak akan lulus. Ternyata ia masuk keruangan yang sama dengan ruanganku dan kufikir ia akan kembali menjadi teman sekelasku. Dan ternya benar. Ia sekarang kembali menjadi teman sekelasku.
     Kulihat ada sedikit harapan muncul dari wajahnya. harapan kalau kali ini ia akan lulus. Aku juga berharap kali ini ia akan lulus. Namun kembali seperti awal tadi, apa yang diharapkan oleh si gadis belum tentu menjadi keinginan si pemberi nilai. Ingat, apa yang mereka inginkan itulah yang harus menjadi kenyataan. Ia dengan tekun berusaha mengerti apa yang dikatakan oleh si dosen, ia menulis beberapa hal yang penting yang ia dapat dari kuliah itu dan ia membacanya ulang.
     Hal rutin itu menjadi pemandanganku setiap berada dikelas itu. Sudah 4 bulan ia melakukan itu. Di kelasku, di depanku, di jam yang sama. Kini tibalah ujian penentuan itu. Ujian yang sesungguhnya agak kurang penting karena itu hanyalah satu ujian. Yah, namun ujian itu adalah ujian penentu apakah kita pantas lulus, atau hanya beberapa dari kami sajalah yang diperbolehkan lulus? ujian itu, hanya diberi waktu selama 2 jam. Beberapa dari kami kelihatan sudah menyerah. Beberapa dari kami sudah mengumpulkan hasilnya. Bagiku, sesungguhnya 2 jam itu adalah waktu yang cukup lama untuk mengerjakan sekumpulan dari soal-soal ini sehingga bahkan dalam setengah dari waktu yang diberikan aku sudah menyelesaikannya terlebih dahulu.  Namun aku malas untuk keluar dan aku memilih untuk melihat gadis itu terlebih dahulu.
     Gadis itu, gadis yang sedikit memberi kekuatan pada kami yang lemah, tengah berduka. Pucat, dan hampir menangis melihat sekumpulan soalnya. Kuyakin, ia pasti kembali tidak dapat menjawab soal-soal itu. Pendidikan itu memanglah tidak adil. Namun ia adil. Walaupun ia tidak bisa, namun ia tidak seperti sebagian dari kami yang melakukan kecurangan. ia tidak mencontek maupun bekerja sama. Pengawasan di kampus ini sangat payah. Sehingga semua orang diberikan kebebasan untuk mencontek tanpa sepengetahuan dari si pengawas.
     Tibalah saat yang memuakan itu. Hasil akhir telah diberitahukan. Yah, aku bilang inilah saat yang memuakkan karena tidak semua orang kelihatan berbahagia. Terutama gadis itu. Ia menangis dalam diam. Ia kembali tidak lulus.

   

Sabtu, 08 September 2012

Penantian panjang untuk tak yang pasti

     Penantian panjang untuk suatu yang pasti. Aku terus memandangi layar komputer ini. Aku terus memandanginya dengan wajah harap-harap cemas "kapan ya akan datang" lamunku. Namun sayangnya waktu tak mau menunggu dan sebentar lagi waktu itu akan habis.
     Kupandangi lagi keesokan harinya. Masih di depan layar komputer. Dengan komputer yang berbeda, waktu yang berbeda, dan tempat yang berbeda. Namun masih dengan website yang sama. Sungguh, sesungguhnya bagi sebagian orang (atau mungkin sebagian besar orang) Penantianku ini cukuplah konyol dan terlalu berlebihan untuk dikhawatirkan mengingat banyak hal yang menurut mereka lebih penting daripada ini. Namun, hei! semua orang itu mempunyai masalahnya masing-masing dan mereka tidak pantas untuk menyamakan masalah mereka kepada diriku.
     Namun semalam aku telah memikirkan apa yang membuat mereka seperti itu. Egokah? ingin sekali berkata bahwa bukan karena ego. Namun pada kenyataannya, memang egolah yang mewakili semua ini. Egolah yang membuat kita kurang puas akan apa yang telah kita peroleh. Egolah yang membuat sebagian orang menjadi serakah dan egolah yang membuat manusia menjadi bukan manusia. dan kalau dipikirkan kembali,  sepertinya mereka juga harus mempelajari arti seni yang sebenaranya.
     Kembali lagi dengan diriku yang masih menatap layar komputer ini. Yah, aku melihat sendiri kenyataan yang mengatakan bahwa orang kaya adalah orang yang berkuasa. Hal itu memang terjadi karena mereka dapat mengubah segala sesuatu, menyelenggarakan segala sesuatu dan melakukan sesuatu sesuai kehendaknya. Mereka takkan segan-segan untuk menginjak dibawahnya namun yang berada dibawahnya takkan sanggup untuk membantingnya.
     Kini sudah kelima harinya aku memandangi layar komputer ini. Tidak ada yang berbeda. Semuanya masih sama saja. Mata hatiku semakin nanar dibuatnya. Namun mereka tidaklah peduli. waktu terus berjalan dan saat itu hampir tiba. Tinggal saja menunggu hari yang semakin mendekat ini dan semuanya tentulah akan membuat penyesalan yang tak ada akhir. Hidup kembali dengan tekanan dan mereka tidak peduli. Kalaupun ada, mereka hanya ingin mendengar. Mereka hanya ingin melihat. Sebentar saja menatap miris namun sangat lama meninggalkan beban. Dan yah, mereka beberapa saat lagi akan tertawa puas

Rabu, 05 September 2012

Jeritan Yang tak terdengar

     Kembalikan kehidupan kami. Kembalikan keluarga kami. Namun mungkin memang sudah tak dapat kembali. Namun biarlah, mungkin sudah saatnya kami akan punah.
     Hidup kami. Hidup sebagai warga flora dan fauna. Semula sangat bahagia sebelum modernisasi itu datang. Manusia hidup sejahtera bersama kami dan mereka tidaklah serakah. Mereka menjaga kami dan terus mengembangbiakkan kami. Kami bahagia, mereka pun juga bahagia. Manusia mengagumi akan keindahan kami, mengagumi akan keasrian kami. Kami juga bersyukur kepada mereka yang terus merawat kami tanpa ada niatan untuk merusaknya. Saat itu, mereka belum tahu apa itu modernisasi. Mereka tidak tahu apa itu teknologi maupun alat-aat elektronik. Mereka menggunakan alat-alat tradisional yang sederhana dan tidak merusak.
     Namun, semua itu berubah. Yah, mereka berubah ketika watak asli para manusia itu datang. yah, sifat egois yang merupakan sifat dasar manusia itu mulai ditujukan pada kami. Kami semua sakit hati, sedikit sakit hati karena mereka masih menghargai kami yang merupakan penduduk asli di tempat ini. Mereka masih melakukan tanggung jawab mereka.
     Namun itu hanya sesaat. Manusia itu makin lama makin bertambah. Bangunan-bangunan itu makin lama makin banyak. Namun bagaimanakah dengan kami? bagaimanakah dengan kami yang makin lama makin berkurang. Bukan, bukan karna kami tidak mau berkembang biak. Kami tidak ingin punah. Kami masih ingin menyertai manusia-manusia itu. Kami masih ingin menjadi makanan untuk mereka, menjadi pelindung mreka dikala mereka kepanasan, dan kami juga masih ingin menjadi pencegah banjir. Kami juga ingin mereka tahu akan siapa kami dan mreka dapat melihat langsung akan keberadaan kami. Tidak seperti pendahulu kami yang harus punah pada zaman purba itu. Kami masih ingin hidup.
    Namun apa yang telah mereka perbuat pada kami? mereka ketakutan melihat kami yang senang berkeliaran di tempat mereka. Padahal, hei! mereka itu mengungsi di tempat kami. Namun apakah mereka tidak sadar dengan apa yang telah mereka perbuat? mereka coba untuk menghancurkan kami. Mereka membuat barang-barang bermerek dari kulit kami. Kami sakit kalau harus dikuliti, namun mengapa demi kekayaan kalian harus menguliti kami? dan kalau pun mereka membiarkan kami untuk berkembang-biak terlebih dahulu, biarlah asalkan anak-anak kami dapat hidup bahagia. Namun apa? apakah mereka mau menuruti permohonan terakhir kami?
     Tidak, jangan harap mereka mau menuruti. Kami kecewa akan mereka. Biarlah pada akhirnya kami akan habis dimakan zaman.